According to The World Bank, a key predictor of sustainable and inclusive economic growth is human capital. Countries that invest in their workforce, namely through health, education, skills, and employment, are more likely to have a globally competitive workforce.
In an archipelagic country like Indonesia, it’s not unusual to have varied levels of economic development across different sets of islands. The Natuna Islands, for example, don’t have the level of infrastructure as mainland Borneo, but this makes it ideal for new investment. Setting a successful foundation starts with a qualified workforce, equipped to respond to various challenges and changes in the future.
With Indonesia facing the potential of a ‘lost generation’ due to missed wealth-building opportunities during the COVID-19 pandemic, now is the time for bold action. Investing in the nation’s workforce strengthens not only economic recovery efforts but also helps bridge wealth gaps between generations and address environmental and social sustainability challenges. But how?
Investing in human capital is not a responsibility that rests solely at a national level; local governments and stakeholders can collaborate to increase a region’s economic potential. Efforts on a local scale will be reflected on a national scale, with decreased poverty rates and increased quality of life.
The involvement of community leaders, non-profit organizations, the business sector, and residents (particularly the younger generation), will help the government find ways to meet the unique needs of the Indonesian people, which are different in each region.
A local approach with a new perspective from the bottom up will give different results than establishing uniform policies from the top down, which runs the risk of indirectly marginalizing minority communities.
How can we ensure communities directly benefit from a bottom up, local approach? Adopting coalition projects that improve the quality of local community resources, small businesses, and local entrepreneurs are just a few ways to accomplish this.
For example, stakeholders and community leaders can initiate benefit-sharing agreements for local communities for new infrastructure projects, in the form of jobs and training, as well as funds that the community can use to design projects for communities affected by the construction process.
Such an agreement has been implemented by a community in Windsor, Canada. They started the Community Benefits Coalition project for the Gordie Howe International Bridge construction project. This project is one of the coalition-based initiatives that has positively impacted the neighborhood and inspired additional initiatives of a similar nature.
Community-based empowerment can be a prominent solution that extends past sustainable economic recovery efforts. It is particularly relevant given that Indonesia will receive a population boost in 2045, the year it celebrates its 100th anniversary of independence.
In 2045, 70% of Indonesia’s population will be of productive age (15-64 years), while 30% will be unproductive (under 14 and over 65) in 2020-2045.
Since different sets of islands have different needs, leaning into the strengths each region has to offer is imperative to success. For example, the Natuna Islands have great potential to become an ecotourism hub in the next few years. The community and local government are welcoming new investment to help support the ecotourism and human capital sectors, a great first step towards a bright future.
By listening to the needs of different communities and taking a bottom-up approach to workforce support, Indonesia, and specifically the Natuna people, can catch up with the gaps produced during the pandemic and soar on to new sustainable development goals.
Bahasa Indonesian
Bank Dunia menyebutkan bahwa modal manusia atau human capital yang kuat berpengaruh pada tercapainya pertumbuhan maupun transformasi ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Negara-negara yang berinvestasi pada modal manusia, yaitu kesehatan, pendidikan, kemampuan serta lapangan pekerjaan, akan memiliki angkatan kerja berdaya saing global.
Angkatan kerja dengan kualifikasi yang mampu merespon berbagai tantangan dan perubahan dunia di masa depan menjadi salah satu kunci mengentaskan kemiskinan dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, khususnya di negara-negara berkembang. Tentunya hal ini berlaku pula bagi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Pendekatan lokal dengan sudut pandang baru dari tingkatan bawah ke atas akan memberikan hasil yang berbeda dibandingkan menetapkan kebijakan yang seragam, karena secara tidak langsung akan meminggirkan komunitas skala kecil atau minoritas.
Mengadopsi kebijakan atau memprakarsai proyek koalisi yang bermanfaat bagi komunitas serta mendukung peningkatan kualitas sumber daya masyarakat lokal, usaha kecil, dan pengusaha lokal akan memastikan masyarakat merasa diuntungkan secara langsung baik dari segi materiel maupun non materiel.
Misalnya, para pemangku kepentingan dan pemimpin komunitas, atau tokoh masyarakat, memprakarsai perjanjian pembagian manfaat bagi komunitas lokal terhadap proyek infrastruktur baru, seperti manfaat berupa lapangan pekerjaan dan pelatihan maupun dana yang dapat digunakan oleh komunitas untuk merancang proyek bagi masyarakat yang terdampak proses konstruksi.
Perjanjian seperti ini telah diterapkan oleh komunitas di Windsor, Kanada, yang memulai proyek Community Benefits Coalition terhadap proyek pembangunan jembatan Gordie Howe International Bridge. Proyek ini menjadi salah satu proyek kerjasama yang terbukti membantu masyarakat setempat dan telah diikuti oleh proyek koalisi serupa lainnya.
Lebih dari sekadar upaya pemulihan ekonomi yang berkelanjutan, pemberdayaan berbasis komunitas dapat menjadi solusi efektif yang patut dipertimbangkan mengingat Indonesia juga akan mendapat bonus demografi di tahun 2045, tepat diperayaan kemerdekaannya yang ke-100 tahun.
Pada tahun 2045, 70% dari jumlah penduduk Indonesia akan berada pada usia produktif (15-64 tahun), sedangkan 30% merupakan penduduk yang tidak produktif (usia dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun) pada periode tahun 2020-2045. Tentunya kondisi ini perlu mendapat perhatian khusus karena tidak mudah mempersiapkan generasi-generasi cerdas yang mampu beradaptasi dengan dunia global.
Diperlukan dukungan dari semua elemen masyarakat untuk membentuk generasi yang siap merespons berbagai perubahan di dunia, berperadaban unggul; berkarakter kuat dan sehat; peduli pada alam maupun lingkungan sekitarnya; serta memiliki kecerdasan yang komprehensif, yakni produktif dan inovatif.
Masyarakat Indonesia sendiri telah membuktikan peran serta mereka dalam membantu ketahanan roda perekonomian bangsa ini di awal penyebaran COVID-19. Berbagai komunitas masyarakat saling membantu satu sama lain secara sosial dan ekonomi, di ranah lokal maupun lintas wilayah, bahkan negara. Komunitas juga lah yang membantu para pelaku usaha dan pariwisata lokal untuk tetap berjalan di tengah ketidakpastian pandemi.