Mangrove Forests of Natuna
The Benefit of Developing Natuna’s Mangrove Forests as Sustainable Tourism

Discover the wonders of mangrove forests – remarkable ecosystems teeming with biodiversity. Not only do these trees help uphold the delicate balance of the environment, but they also act as enormous carbon absorbers. By safeguarding coastal communities from the threat of rising tides, erosion, and powerful natural disasters such as storms and tsunamis, mangroves prove essential to our planet’s health and security.

There are four mangrove forests in Natuna that can be visited by tourists, namely in Mekarjaya Village, West Bunguran District, South Cemaga Village, South Bunguran District, Pengadah Village, Northeast Bunguran District, and the largest is Mangrove Pering in Bandarsyah Village, East Bunguran District. The Pering Mangrove is also the largest mangrove forest in the Riau Archipelago.

Managing mangrove forests as sustainable tourism destinations will also help improve the economy and welfare of the local community, especially the food security of coastal communities, because they can be used as a habitat for fish and crustacean nurseries.

Preserving this forest is crucial. That starts with ecotourism, providing a one-of-a-kind experience by exploring the mangroves on vacation. These forests can even serve as outdoor classrooms for students to learn about the protection and sustainability of this incredible ecosystem. Educating the public about the importance of mangroves sets the foundation for conservation efforts to thrive.

There are many ways to manage mangrove forests as attractive and sustainable tourist destinations. Several countries have developed sustainable nature tourism that can be studied for its application. For example, Machinchang Cambrian Geoforest Park, Kilim Karst Geoforest Park, and Dayang Bunting Marble Geoforest Park in Malaysia are members of the Langkawi UNESCO Global Geopark.

Both have fishing villages, traditional agriculture, and plantations. The three parks also have mangrove forest areas. Inside the geopark, there are accommodations and supporting facilities for tourists and school students visiting the geopark area.

Langkawi Geopark is equipped with sustainability programs such as Geopark School, Geopark Community, and GeoFood. There are also Geopark Clubs in schools to provide young students with information and education on preserving and managing the world’s natural and cultural assets.

The club uses a sustainable development approach based on social justice, economic efficiency, and ecological sustainability principles. From a tourism perspective, the three parks also offer programs packed with adventure that are educational, interactive, and inspiring, with approximately 24 attractions, including Educational Cruise, SkyCab, and SkyBridge.

This approach to ecotourism is important, given that mangrove forests are becoming scarcer and disappearing fast. UNESCO estimates that three-quarters of the world’s mangroves are threatened with extinction, disappearing three to five times faster than land-locked forests.

It is our shared responsibility to maintain the preservation and balance of the mangrove forest ecosystem in Natuna as well as other forests in Indonesia and even the world. No nation or region will be excluded from the implications of the climate change crisis.

Holistic planning with the participation of various parties will determine the success of turning Natuna’s mangrove forests into ecotourism that boosts its tourism and economy. A balance is needed between conservation benefits, social aspects, and economic benefits.

Experts and professionals from multidisciplined, stakeholders at regional and national levels, government and private sectors, local and foreign investor partners, local and international communities, and of course, the community must also be involved in its management.

Periodic evaluations are also necessary to ensure that the principles of sustainable tourism continue to be implemented and benefit all parties, especially the local community.

Natuna has 2,638.45 hectares of mangrove forest area. Another benefit of mangrove forests, according to UNESCO, is that one hectare of mangroves can store 3,754 tons of carbon. The carbon equivalent that 2,650 cars emit on the road in one year.

Imagine the ecological and socio-economic impacts that await if mangrove conservation efforts are not managed thoughtfully.

Bahasa Indonesian Translation

Ada empat hutan bakau di Natuna yang bisa dikunjungi oleh para wisatawan, yaitu di Desa Mekarjaya Kecamatan Bunguran Barat, Desa Cemaga Selatan Kecamatan Bunguran Selatan, Desa Pengadah Kecamatan Bunguran Timur Laut, dan yang terbesar adalah Mangrove Pering di Kelurahan Bandarsyah, Kecamatan Bunguran Timur. Mangrove Pering juga merupakan hutan bakau terluas di Kepulauan Riau.

Hutan bakau adalah ekosistem luar biasa dengan keanekaragaman hayati yang unik. Keberadaannya sangat bermanfaat bagi lingkungan di sekitarnya dan bumi secara keseluruhan karena mampu membantu menjaga keseimbangan alam, penyerap karbon dalam jumlah besar sekaligus melindungi wilayah pesisir terhadap naiknya permukaan air laut, erosi, gelombang badai, dan tsunami.

Mengelola hutan bakau sebagai tujuan wisata berkelanjutan secara tepat akan turut meningkatkan pula perekonomian dan kesejahteraan masyarakat setempat, khususnya ketahanan pangan masyarakat pesisir, karena dapat dijadikan habitat pembibitan ikan dan udang-udangan. 

Selain ragam manfaat yang diberikannya, wisata hutan bakau terutama perlu menjunjung nilai edukasi akan pentingnya pelestarian hutan bakau itu sendiri. Tidak hanya itu, mengembangkan hutan bakau sebagai sekolah alam terbuka yang nyaman dijelajahi oleh turis muda maupun dewasa bisa jadi sumber pengalaman berwisata yang baru dan berbeda. 

Ada banyak cara untuk mengelola hutan bakau sebagai destinasi wisata yang menarik serta berkelanjutan. Beberapa negara telah mengembangkan wisata alam berkelanjutan yang bisa dipelajari penerapannya. Misalnya, Machinchang Cambrian Geoforest Park, Kilim Karst Geoforest Park, dan Dayang Bunting Marble Geoforest Park di Malaysia yang tergabung dalam Langkawi UNESCO Global Geopark.

Sama-sama memiliki desa nelayan, pertanian serta perkebunan tradisional, ketiga geopark tersebut juga memiliki kawasan hutan bakau. Di dalam geopark terdapat akomodasi dan fasilitas penunjang bagi para turis maupun siswa sekolah yang mengunjungi kawasan geopark. 

Geopark Langkawi dilengkapi dengan program-program keberlanjutan seperti Sekolah Geopark, Komunitas Geopark, dan GeoFood. Terdapat pula Klub Geopark di sekolah-sekolah sebagai sarana penyebaran informasi dan edukasi terkait pengelolaan warisan alam dan budaya bagi generasi muda.

Klub ini menggunakan pendekatan pembangunan berkelanjutan yang didasarkan pada prinsip keadilan sosial, efisiensi ekonomi, dan keberlanjutan ekologis. Dari sisi pariwisata, ketiga geopark juga memiliki program penuh petualangan namun tetap sarat edukasi, interaktif, dan inspiratif. Memiliki kurang lebih 24 atraksi, di antaranya Educational Cruise, SkyCab dan SkyBridge.

Pendekatan ekowisata seperti ini penting, mengingat hutan bakau kini semakin langka dan semakin cepat menghilang daripada hilangnya hutan secara keseluruhan. UNESCO memperkirakan tiga perempat hutan bakau di dunia terancam punah, menghilang tiga hingga lima kali lebih cepat. 

Menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem hutan bakau Natuna dan hutan lain yang ada di Indonesia, bahkan seluruh dunia, adalah tanggung jawab kita bersama. Krisis perubahan iklim tidak pilih-pilih wilayah atau negara mana yang akan merasakan dampaknya.

Inilah sebabnya keberhasilan mengembangkan hutan bakau Natuna menjadi ekowisata yang memajukan pariwisata dan ekonomi Natuna ditentukan oleh perencanaan holistik yang diwujudkan melalui kerja sama berbagai pihak. Dibutuhkan keseimbangan antara manfaat konservasi, aspek sosial, dan manfaat ekonomi.

Tenaga ahli maupun profesional dari berbagai disiplin, pemangku kepentingan di tingkat daerah maupun nasional, sektor pemerintah maupun swasta, mitra investor lokal maupun asing, komunitas lokal maupun internasional, dan tentunya masyarakat perlu dilibatkan pula dalam pengelolaannya. 

Evaluasi berkala pun perlu untuk memastikan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan tetap dijalankan dan menguntungkan bagi semua pihak, terutama masyarakan setempat.

Natuna memiliki 2.638,45 hektare kawasan hutan bakau. Manfaat hutan bakau lainnya, menurut UNESCO, adalah bahwa satu hektar mangrove dapat menyimpan 3.754 ton karbon. Setara dengan karbon yang dihasilkan 2.650 mobil di jalan raya selama satu tahun. 

Bisa dibayangkan dampak ekologis dan sosial ekonomi yang menanti jika upaya pelestarian hutan bakau tidak dikelola dengan serius.

More Articles