Baiq Setiani in his writing in the Constitution Journal stated that airspace is the air space above a country’s land and water areas. The territory of a country usually consists of three dimensions, land, water, and air space.
He also mentioned that Indonesia, Singapore, Malaysia, the Philippines, India, Pakistan, England, the Netherlands, the United States, Canada, Argentina, China, Korea, and Japan are among the countries with the three dimensions mentioned above.
This is why international recognition of airspace as part of state sovereignty provides strong legitimacy for Indonesia as a vast country.
Apart from areas of transportation, defense, and national security needs, airspace certainly has economic and strategic value.
Without state sovereignty in air space and adequate control of aerospace technology, the state can not control its airspace effectively. Indonesia will become a weak and consumerist nation if other countries control its aerospace technology needs.
Based on the writings of Canris Bahri P.S in the Journal of the Master of Law Program at the Faculty of Law, University of Indonesia, the dynamics of airspace sovereignty, especially over the Riau Islands (Kepri) and Natuna, have been discussed since 1946.
Since 1946, Singapore’s Flight Information Region (FIR) has had full control over flight navigation in the Riau Islands and Natuna areas. This indirectly means that Singapore controls the air space in the Riau Islands and Natunas.
Every flight that crosses the Riau Islands and Natuna must ask permission from Singapore first and Indonesia itself is no exception, when it wants to cross the Riau Islands and Natuna areas it must request permission from Singapore.
However, as of March 21, 2024, the Minister of Transportation Budi Karya Sumadi has announced that the air space with all flight information or flight information regions (FIR) in the Riau Islands and Natunas has been fully regulated by Indonesia.
The FIR negotiations with Singapore began in 1995 before ending in 2022. The efforts that have been made include 3 (three) aspects, namely: diplomacy, regulation, and technical through the relevant ministries/institutions appointed by the Government as coordinators to oversee policy including the Coordinating Ministry for Maritime Affairs and Investment.
So, what changes with Indonesian control of Riau & Natuna airspace?
First, the realignment of the FIR agreement with Singapore has increased Jakarta FIR’s area by 249,575 square kilometers, totaling 2,842,725 square kilometers, a 9.5% increase from the original coverage.
Second, all aircraft flying in the realigned FIR will now receive navigation services from Indonesia directly, eliminating the need to contact Singapore’s air navigation services previously required for domestic and international flights passing through the Riau Islands and Natuna.
Third, Indonesia’s personnel from the Civil-Military Cooperation in Air Traffic Management (CMAC) have been stationed at the Singapore Air Traffic Control Center (SATCC) for 24-hour monitoring of aircraft movements between Indonesia and Singapore.
Fourth, the realignment of the FIR agreement will also contribute to increased state revenue, which originates from the flight navigation service fees applied to the additional Jakarta FIR area.
The sovereign position of a country and aviation safety in terms of FIR management must go hand in hand without ignoring either of these aspects.
With the realignment of the FIR agreement, the Indonesian government must carry out its obligations to provide and improve flight navigation services in the context of aviation safety.
Hopefully, the realigned FIR will also provide the right momentum for improving human resources, facilities, and infrastructure, especially the modernization of technology and aviation navigation equipment.
Jalan Panjang Menuju Lepas Landas: Penguasaan Wilayah Udara Indonesia di Kepri & Natuna
Baiq Setiani dalam tulisannya di Jurnal Konstitusi menyebutkan bahwa wilayah udara adalah ruang udara yang berada di atas wilayah daratan dan perairan suatu negara. Wilayah suatu negara biasanya terdiri dari tiga dimensi, yaitu daratan, perairan, dan ruang udara.
Ia juga menyebutkan bahwa Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, India, Pakistan, Inggris, Belanda, Amerika Serikat, Kanada, Argentina, China, Korea, dan Jepang adalah beberapa negara dengan ketiga dimensi yang disebutkan di atas.
Inilah sebabnya pengakuan dunia internasional akan wilayah udara sebagai bagian dari kedaulatan negara memberikan legitimasi yang kuat bagi Indonesia sebagai suatu negara yang luas.
Selain wilayah kebutuhan transportasi, pertahanan dan keamanan nasional, wilaya udara tentunya kemudian memiliki nilai ekonomis dan strategis.
Tanpa kedaulatan negara di ruang udara dan penguasaan teknologi kedirgantaraan yang mumpuni agar negara dapat menguasai wilayah udaranya dengan efektif. Indonesia akan menjadi bangsa lemah dan konsumtif saja manakala kebutuhan teknologi kedirgantaraan dikuasai oleh negara-negara lain.
Berdasarkan tulisan Canris Bahri P.S dalam Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dinamika atas kedaulatan wilayah udara khususnya di atas Kepulauan Riau (Kepri) dan Natuna, telah dibicarakan sejak tahun 1946.
Sejak 1946, Flight Information Region (FIR) Singapura memegang penuh atas navigasi penerbangan di daerah Kepri dan Natuna, yang secara tidak langsung mempunyai arti bahwa ruang udara di Kepri dan Natuna dikendalikan oleh Singapura.
Setiap penerbangan yang melintasi Kepri dan Natuna harus meminta izin kepada Singapura terlebih dahulu dan tidak terkecuali Indonesia sendiri ketika hendak melintasi wilayah Kepri dan Natuna harus meminta izin kepada Singapura.
Namun, per tanggal 21 Maret 2024 lalu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi telah mengumumkan bahwa ruang udara dengan segala informasi penerbangan atau flight information region (FIR) di Kepri dan Natuna telah diatur sepenuhnya oleh Indonesia.
Adapun negosiasi FIR dengan Singapura dimulai pada tahun 1995 sebelum berakhir pada tahun 2022. Upaya-upaya yang telah dilakukan meliputi 3 (tiga) aspek yaitu: diplomasi, regulasi, dan teknis melalui kementerian/lembaga terkait yang ditunjuk oleh Pemerintah sebagai koordinator sebagai pengawal kebijakan di antaranya Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi
Lantas, apa yang berubah setelah FIR di Kepri dan Natuna berada di tangan Indonesia?
Pertama, penyelarasan perjanjian FIR dengan Singapura telah menambah luas wilayah FIR Jakarta sebesar 249.575 kilometer persegi, sehingga total menjadi 2.842.725 kilometer persegi, meningkat 9,5% dari cakupan semula.
Kedua, seluruh pesawat yang terbang dengan FIR yang telah disesuaikan kini akan menerima layanan navigasi dari Indonesia secara langsung, sehingga menghilangkan kebutuhan untuk menghubungi layanan navigasi udara Singapura yang sebelumnya diperlukan untuk penerbangan domestik dan internasional yang melewati Kepri dan Natuna.
Ketiga, personil Indonesia dari Civil Military Cooperation in Air Traffic Management (CMAC) telah ditempatkan di Singapore Air Traffic Control Center (SATCC) untuk memantau pergerakan pesawat antara Indonesia dan Singapura selama 24 jam.
Keempat, penataan kembali perjanjian FIR juga akan berkontribusi pada peningkatan pendapatan negara yang bersumber dari biaya layanan navigasi penerbangan yang diterapkan pada tambahan area FIR Jakarta.
Kedudukan kedaulatan sebuah negara dan keselamatan penerbangan dalam hal pengelolaan FIR harus berjalan beriringan tanpa mengesampingkan salah satu aspek tersebut.
Dengan terwujudnya penataan kembali perjanjian FIR, pemerintah RI harus melaksanakan kewajibannya untuk memberikan dan meningkatkan layanan navigasi penerbangan dalam rangka keselamatan penerbangan.
Semoga penataan ini juga menjadi momentum yang tepat bagi peningkatan sumber daya manusia, sarana dan prasarana khususnya modernisasi teknologi dan peralatan navigasi penerbangan.